MENIMBA ILMU DI CHINA
(Sebuah Strategi Membangun Toleransi)
Oleh : Muhammad Miqdam Musawwa*
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنَ
“Tuntutlh ilmu walaupun saampai ke negeri China.”
Hadits di atas, walaupun ada yang mengatakannya sebagai hadits dhâif (bahkan bukan hadits), namun banyak yang menggunakannya untuk memberikan stimulant (motivasi), baik untuk diri mereka sendiri maupun orang lain untuk giat dalam mencari ilmu (thalabul ilmi). Bahkan (betapa!) seringkali hadits tersebut dijumpai di dinding-dinding sekolah guna memberi semangat kepada murid-murid dalam mencari ilmu. Tentu bukan main-main, dengan malakukan hal tersebut.
Oleh karenanya, tidak mengapa bila kita memahami hadits tersebut dengan cara lain, yaitu dengan menggali makna-makna terselubung dari hadits di atas agar kita lebih terstimulan dalam kaitannya dengan menuntut ilmu. Pertama, secara maknawi (meaning), jelas hadits tersebut mendorong kita semua, umat Islam untuk bekerja keras (mengupayakan sekuat tenaga) dan tidak mudah menyerah (mengabaikan segala halangan) dalam menuntut ilmu. Ya, mencari ilmu itu merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam meskipun itu harus dilakukan dengan cara pergi jauh (transmigrasi) dan berpisah denagn orang-orang terdekat kita.
Ada yang mengatakan negeri China, waktu itu (pada masa Rasulullah), merupakan negeri yang secara geografis tidak mudah ditempuh. Jaraknya jauh dari negeri Arab, sehingga Nabi sengaja memberikan isyarat (jika benar itu adalah hadits) untuk hijrah ke tempat yang jauh untuk mencari ilmu. Namun ada juga yang mengatakan, China waktu itu menjadi pusat perdagangan dunia, sehingga gaungnya pun sampai ke semenanjung Arabia.
Kedua, Islam adalah agama yang penuh toleransi, yang diturunkan sebagai pengayom bagi segala kehidupan dan penghidupan di alam ini. Ia diturunkan tidak untuk memecah-belah kehidupan (bermasyarakat) umat manusia. Namun, ia tetap melakukan pendekatan (approaching) kepada manusia sebagaimana fungsinya sebagai petunjuk dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan, khusnul khâtimah. Oleh karena itu, Islam tidak hanya memberi peluang kepada umat Islam untuk bergaul dengan sesamanya saja. Tapi juga (bahkan) dengan orang kafir.
Hadits Nabi di atas tersirat mengatakan demikian: “Bahwa kita boleh belajar di negeri orang kafir.” Tentu dalam proses belajar tidak sesederhana membaca dan menghafal saja. Dalam prosesnya kita juga bersinggungan dengan budaya lingkungan tempat kita belajar. Dan itulah yang hendak kita simpulkan bahwa, bahkan (ber)interaksi dengan orang yang secara ‘aqîdatan wa syarî’atan (akidah dan syariatnya) berseberangan dengan kita (kafir), pun harus dilakukan dalam menuntut ilmu, yang tentunya dengan catatan harus sesuai dengan panduan ajaran agama Islam itu sendiri.
Ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa kita tidak berhak menghakimi diri kita sendiri untuk hanya bergaul dengan siapa dan siapa. Dalam perspektif penciptaan, kita semua adalah sama. Tetapi, memang dalam perspektif amar secara Islam, kita orang Islam adalah yang paling ta’at. Islam sendiri pun kemudian terbagi menjadi bermacam golongan, dari yang paling tua kelompok pemikiran (syi’ah) hingga organisasi yang membawa nama Islam.
Semua golongan memang mempunyai wewenang ilmiah untuk menafsirkan Islam secara warna-warni (memakai istilah John Esposito, Islam: The Straight Path). Dan kita maklumi hal tersebut sebagai rahmat yang mewarnai kehidupan tafakkur (berfikir) di dunia ini. Oleh karena itu, selama ini semua masih dilakukan dalam prosesi tafakkur, maka bergaul dengan orang yang tidak satu idealisme (ideologi) tidak (men)jadi masalah. Justru itu akan menambah referensi ke-‘ilmu-an kita dalam mengarungi samudera thalabul ‘ilmi ibtighâ’an limardhâtilLâh (menimba ilmu demi meraih ridah Ilahi).
Ketiga, manusia adalah makhluk duniawi yang dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari keduniawian. Man arâda dunyâ, fa’alaihi bil ‘ilmi. Barang siapa yang ingin sukses di kehidupan dunianya, maka ia harus menguasai ilmu dunia. Belajar di negeri China adalah sebuah analogi bagi kita untuk menuntut ilmu dunia. Umat Islam dianjurkan menguasai ilmu dunia sebagai penyempurna kehidupan imannya. Karena sebenarnya, pun bila kita mengikuti sistem dikotomi keilmuan yang dibuat oleh kelompok ekstremis, bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua, yaitu duniawi dan ukhrawi, hadits diatas justru membongkar idealisme dikotomis tersebut. Karena logikanya, setiap ilmu pada dasarnya mengantarkan manusia menuju sebuah peradaban yang diharapkan membawa cita-cita umat manusia yang sama: yaitu kesejahteraan.
Dan bila peranan ilmu dimaksudkan untuk membangun idealisme ke-Tuhan-an, ilmu-ilmu eksakta tidak jauh beda potensi taqrîban ila Allâh-nya -bila dibandingkan- dengan ilmu tauhid. Beberapa peristiwa kompleks yang terjadi dalam praktik ilmu kimia berhasil membuktikan sebuah kenyataan bahwa tidak semua hal bisa dirumuskan. Dan akan tetap ada tangan tertinggi yang menggenggam rumus kehidupan ini. Ia adalah sebuah superioritas yang menghidupi semesta. Hal ini sebagaimana yang diyakini matematikawan, Sir Ishaq Newton yang kemudian disanggah oleh saudara muda-nya, Stephen Hawking. Dan pada intinya, dikotomi keilmuan secara teori memang terjadi, namun pada praktiknya, kedua jenis ilmu tersebut menyatu dan mengalir bersama-sama menuju sebuah muara yang sama, yaitu rahmatan lil’âlamîn.
Keempat, (adalah yang hanya sebagai gurauan penulis), barangkali sudah diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW, kalau umat Islam adalah umat yang tertinggal dalam dunia keilmiahan. Dan, prediksi Nabi bahwa China akan menjadi negara adidaya suatu saat nanti. Berdasarkan fenomena yang terjadi, perlahan tapi pasti, satu persatu negara Islam Timur Tengah mulai berantakan. Dimulai dari Palestina dan diakhiri dengan yang terbaru, konflik di Suriah. Dan dalam rentan itu, Afganistan, Irak, Pakistan, Mesir, Libya, dan Yaman, dilanda gejolak yang sama. Sebuah indikasi kehancuran.
Sementara negara non Islam belakangan menjadi semakin kuat. Tidak hanya mengekspor produk-produk kebutuhan kita, tapi juga ilmunya. Bilamana sudah demikian, sulit mematahkan budaya ilmiah mereka. Sulit pula untuk menjadikan diri kita tiba-tiba lebih tahu dan maju dari mereka. Perlu kerja keras untuk meniti langkah demi langkah, bahkan untuk sekedar mengimbangi langkah mereka.
Ini adalah sebuah kenyataan. Suatu “godam penohok” bagi kita semua. Dan Nabi tidak akan menjadi satu-satunya orang yang paling malu mengetahui fenomena ini. Posisinya sebagai al-ballâgh (penyampai), sudah seharusnya memberikan kita kesadaran, bahwa kita yang sekarang juga punya porsi sebagai penyebab ketertinggalan ini. Sejarah barangkali bisa membuktikan siapa yang paling dominan menyebabkan kemunduran Islam. Namun, bila kita yang sudah tahu tidak berusaha beranjak dari ketertinggalan ini, bukan tidak mungkin mereka (penyebab dominan) juga menuduh kita yang sekarang.
Islam adalah sebuah idealisme bagi kita semua. Dan mewarnakan idealisme kita kepada setiap orang adalah hal yang tidak mudah. Pada akhirnya, kita sebagai muballighîn (orang yang menyampaikan ajaran Islam) hanya bisa bersikap toleran dan tahan terhadap segala paradoks yang ada. Keragaman aliran pemikiran dan keyakinan memang hanya bisa kita hadapi dengan toleransi ilmiah. Perbedaan yang terjadi di dalam kepala tidak bisa diselesaian dengan “kepalan tangan”.
Barangkali untuk itulah Nabi menganjurkan kita mencari referensi untuk ber-toleransi ilmiah dalam menghadapi pluralitas sampai negeri China. Di mana bila kita sampai di sana nanti, kita akan berhadapan dengan sebuah paradoks yang sangat besar. Pertemuan 2 idealisme yang berseberang lebar; monotheis dan atheis. Dengan harapan bila kita (sudah) terbiasa menghadapi paradoks yang besar, kita akan lebih mudah menghidupi paradoks yang lebih sederhana: yaitu paradox in a religion (paradoks dalam 1 agama yang sama). Semoga! Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb. []
*Santri Pondok Pesantren (Ponpes) UII,
Mahasiswa Ilmu Kimia FMIPA, ’09.
Tidak ada komentar: