UJIAN Nasional (UN) menjadi momok yang paling menakutkan bagi kami. Saat itu saya bersekolah di swasta. Hal ini mungkin akan lain ceritanya jika saya sekolah di negri. Dengan segala keterbatasan dan guru yang seadannya kami menghadapi UN dengan perasaan harap-harap cemas. Untuk membeli buku soal panduan UN terbaru saja kami tidak mampu. Ditambah lagi dengan perpustakaan sekolah yang sangat minim koleksi bukunya.
Lengkap sudah penderitaan kami ketika itu. Tetapi dengan kekurangan dan keterbatasan itu tidak membuat kami putus asa. Bimbingan belajar (bimbel) rutin kami lakukan setelah jam sekolah selesai. Dengan bermodalkan referensi soal-soal yang sudah lawas kami tetap setia belajar. Guru kamilah yang tak henti-hentinya menyampaiakn bahwa hasil itu diperoleh setelah ada upaya yang telah dikerjakan (upaya).
Satu sisi, guru kami memberikan semangat. Tetapi sisi yang lain beliau juga membuat kami merinding. Guru kami menyampaikan bahwa tidak ada pengulangan bagi siswa yang tidak lulus UN. Bagi siswa yang tidak lulus harus mengulang tahun depan. Kami pun merasa merinding mendengarnya. Salah satu teman mengatakan, lebih baik bertemu dengan setan ketimbang tidak lulus UN. Serem banget...
Yang menentukan hasil bukan lah manusia. Apapun nanti hasil usaha kami akan tetap diterima dengan lapang dada. Toh sudah berusaha dengan sebisa mungkin dan persiapan yang seadanya. Harapan kami saat itu hanya satu, yaitu lulus UN. Perasaan kami diantara percaya atau tidak, diantara optimis dan pesimis ketika UN tiba.
Perasaan yang kami alami dulu tentu dirasakan pula oleh siswa dan siswi saat ini. Bedanya dulu “teror” itu begitu kuat, dan siswa-siswinya dulu kuat-kuat. Jadi “teror” yang tidak lulus harus mengulang tahun depan tidak begitu berarti bagi kami. Lain halnya dengan sekarang, banyak diberitakan di media masa bahwa ada yang sampai nekat bunuh diri gara-gara UN. Ada juga yang pingsan sebelum UN dan lain sebagainya.
Kenapa siswa dan siswi sekarang lebih penakut ketimbang siswa-siswi dahulu. Padahal sudah jelas ada jaminan bagi yang tidak lulus bisa mengulang. Tak hanya itu, kelulusan saat ini tidak ditentukan dengan nilai UN. Jika sudah belajar dengan “baik” dan “benar” kenapa harus takut dengan UN??. [zah]
Lengkap sudah penderitaan kami ketika itu. Tetapi dengan kekurangan dan keterbatasan itu tidak membuat kami putus asa. Bimbingan belajar (bimbel) rutin kami lakukan setelah jam sekolah selesai. Dengan bermodalkan referensi soal-soal yang sudah lawas kami tetap setia belajar. Guru kamilah yang tak henti-hentinya menyampaiakn bahwa hasil itu diperoleh setelah ada upaya yang telah dikerjakan (upaya).
Satu sisi, guru kami memberikan semangat. Tetapi sisi yang lain beliau juga membuat kami merinding. Guru kami menyampaikan bahwa tidak ada pengulangan bagi siswa yang tidak lulus UN. Bagi siswa yang tidak lulus harus mengulang tahun depan. Kami pun merasa merinding mendengarnya. Salah satu teman mengatakan, lebih baik bertemu dengan setan ketimbang tidak lulus UN. Serem banget...
Yang menentukan hasil bukan lah manusia. Apapun nanti hasil usaha kami akan tetap diterima dengan lapang dada. Toh sudah berusaha dengan sebisa mungkin dan persiapan yang seadanya. Harapan kami saat itu hanya satu, yaitu lulus UN. Perasaan kami diantara percaya atau tidak, diantara optimis dan pesimis ketika UN tiba.
Perasaan yang kami alami dulu tentu dirasakan pula oleh siswa dan siswi saat ini. Bedanya dulu “teror” itu begitu kuat, dan siswa-siswinya dulu kuat-kuat. Jadi “teror” yang tidak lulus harus mengulang tahun depan tidak begitu berarti bagi kami. Lain halnya dengan sekarang, banyak diberitakan di media masa bahwa ada yang sampai nekat bunuh diri gara-gara UN. Ada juga yang pingsan sebelum UN dan lain sebagainya.
Kenapa siswa dan siswi sekarang lebih penakut ketimbang siswa-siswi dahulu. Padahal sudah jelas ada jaminan bagi yang tidak lulus bisa mengulang. Tak hanya itu, kelulusan saat ini tidak ditentukan dengan nilai UN. Jika sudah belajar dengan “baik” dan “benar” kenapa harus takut dengan UN??. [zah]
Tidak ada komentar: