Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah [02] : 185)
Alhamdulilah pada kesempatan tahun ini kita diberikan kesempatan untuk menjalani ibadah puasa ramadhan. Tak bisa kita lupakan, salah satu kenangan yang begitu besar dalam sejarah negri ini yiatu kemenangan yang dinanti oleh seluruh rakyat indonesia (merdeka) didapatkan pada saat bulan ramadhan pula. Begitu bahagia kala itu bisa lepas dari penjajah yang ratusan tahun menjajah negri tercinta ini.
Jika kita menengok ke belakang, ternyata bulan ramadhan memiliki sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari negri kita ini, bahkan bulan ramadhan telah memberikan semangat dan kekuatan yang begitu besar bagi rakyat Indonesia. Meski jumlah pahlawan yang terbatas dan bersenjatakan bambu runcing, ternyata mampu mengusir penjajah dari negri ini.
Inilah salah satu kebesaran Allah swt yang telah menunjukan kebesarannya. Sebagai generasi bangsa, inilah yang harus kita ingat dan renungkan, tanpa campurtangan Allah semua ini tak akan pernah berhasil, bahkan bisa dikatakan mustahil. Tetapi ditangan Allah tak ada yang mustahil, meski bambu melawan peluru tak sulit bagi rabbku untuk memusnahkan musuh-musuhku.
Tak hanya itu, tentu keberhasilan kemerdekaan itu juga ditopang dengan kebersatuan, kebersamaan serta kekokohan diantara pejuang negri ini. Dengan menjunjung tinggi prinsip ini, mereka mengesampingkan ras dan golongan. Tujuan mereka satu, yaitu memperjuangkan kemerdekaan negri ini dengan tumpah darah mereka, tanpa tawar-menawar lagi.
Seandainya para pejuang itu masih hidup hingga saat ini tentu akan menangis, miris dan selalu bersedih. Bhineka tunggal ika hanya tinggal nama, tetapi faktanya kini sudah tak ada. Belum lagi dalam ajaran agama islam yang dianut oleh sebagian besar rakyat indonesia seolah lupa akan ajaran tuhannya. Padahal, sudah tertulis jelas dalam al-Quran : "Dan berpegangteguhlah kalian semua kepada tali Allah dan janganlah kalian bercerai-berai." (QS. Ali Imron [03] 103.)
Saat ini kita terjebak dalam ranah perbedaan pendapat yang akhirnya tidak menemukan titik temu. Fanatisme muncul dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling baik dan paling benar. Salah satu contoh ialah terkait penentuan kapan mulai dan akhir puasa, yang sering menjadi pembicaraan hangat diawal bulan ramadhan setiap tahun.
Jika meminjam istilah yang digunakan oleh Dr. Malik Madani, M.A., dalam pola keberagamaan kita hanya difokuskan pada pembetukan dan pembinaan sholih al-ibadah (keshalilahan dalam ibadah, keshalihan ritual). Kita hanya mengukir-ukir dan membagus-baguskan sholat saja, sehingga berujung pada perdebatan yang berlarut-larut hingga sampai sesat-menyesatkan.
Inilah kesalahan yang terjadi, kebanyakan yang dituju dan yang dicari hanya shalih dalam ibadah saja (tata cara sholat). Padahal jika kita renungkan, dalam ajaran Rasulullah saw, tujuan akhirnya adalah untuk shalih al-akhlaq (keshalihan akhlaq). Agama itu datang untuk membetuk moral melalui ibadah, mislanya melalui sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Sehinga, jika sholatnya baik sudah pasti yang lainnya mengikuti.
Mensikapi Perbedaan
“Ya Allah, lunakkanlah hati kami sehingga kami bisa berlapang dada menghargai adanya perbedaan faham dan keyakinan, tanpa harus menghujat bahkan menyakiti hati orang lain yang tidak sefaham dengan kami, Aaamiiin.” Tulisan ini saya dapatkan dari jejaring sosial milik Dr. Junanah, MIS.
Kedewasaan dalam perbedaan itu sangat perlu, sikap ini telah ditunjukan oleh beliau sehingga kita harus menirunya. Semua memiliki argumentasi, dan semua memiliki pilihan untuk memilih yang sesuai dengan diri kita masing-masing. Tidak perlu saling menghujat atau malah lebih dari itu. Oleh karenanya mari kita renungkan bersama kaliamt ini, “Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai...?”
Alternatif yang kedua, ketika mensikapi perbedaan ini bisa dengan cara yang lain. Misalnya seperti Gus Nuil dalam sebuah tulisannya. “Kita ini memang bangsa bawel yang kurang proporsional, hanya gara-gara menentukan puasa ributnya setengah mati. Padahal setelah ditentukan harinya mereka juga kadang jarang berpuasa dan menggunakan alasan macam-macam untuk tidak berpuasa.
Sebenarnya puasa itu ada dalilnya; Shumu li ru'yati wa aftiru li ru'yati," berpuasalah kamu setelah melihat bulan dan ber-idul fitri-lah kamu dengan melihat bulan. Nah kalau dengan mata telajang tidak kelihatan maka genapkan sebulan penuh. Sederhana bukan? Jadi, mau berpuasa tanggal 9 sialahkan, mau puasa tanggal 10 juga silahkan. Tidak puasa pun tidak masalah, wong perintah puasa itu untuk orang yang beriman, bukan untuk yang baru berkelas Islam syahadat tho...”
Puasa dan Mu’min
Ayat tentang puasa (Al-Baqarah [02] : 183) dimulai dengan menyeru kepada orang-orang yang beriman (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû...) dan tidak untuk yang lainnya. Jelas bahwa apa yang disampaikan oleh Gus Nuril, bahwa hanya orang-orang yang berimanlah yang mendapatkan perintah puasa, bukan kepada orang islam yang berkelas syahadat. Kedua kelas ini jelas sangat jauh berbeda.
Dalam agama islam, ada dua rukun yang wajib kita jalani. Rukun islam (arkanu al-islam) dan rukun iman (arkanu al-iman). Kedua rukun ini kita laksanakan secara berbarengan, rukun islam dikerjakan dalam bentuk dzohir (tampak). Misalnya syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan rukun iman yaitu mempercai hal-hal yang gaib (tidak tampak), Allah, Malaikat, Kitab (wahyu), Rasul (utusan Allah), Hari Qiyamat dan Qada-qadar.
Jika kita urutkan tingkatannya, islam (muslim) itu yang pertama, kedua ialah iman (mu’min) dan yang terakhir ialah ihsan (muhsin). Jadi, kedudukan iman itu lebih tinggi daripada islam. Iman itu artinya percaya. Orang yang beriman percaya kepada Allah dengan sepenuhnya, dan tidak setengah-setengah.
Iman itu tidak hanya dalam ucapan belaka, atau pun hati saja, tetapi iman itu dimplementasikan dengan tiga unsur tadi. “al-qoulu bi al-lisan, wa al-tasdiqu bi al-jinan wa al-‘amalu bi al-arkan” artinya : Diucapkan dengan lisan, dibenarkan dalam hati dan dikerjakan dengan segenap anggota badan. Sehingga ucapan, hati dan tindakannya semuanya sudah didasarkan kepada Allah swt dan akhirnya melekat dalam dirinya dan menjadi sebuah sifat.
Inilah iman yang sesungguhnya. Tidak banyak orang yang mampu menggabungkan ketiganya, kadang baru sekedar tahu, tapi dalam hati belum bisa menerima. Bahkan ada juga yang sudah mantap dilidah, sudah diyakini dengan hati, tetapi belum mampu dalam tindakan. Artinya belum bisa sepenuhnya menjaga diri dari keburukan, maksiat, dan dosa-dosa kecil yang lainnya.
Jika sudah demikian, dimanakah level iman kita saat ini? Sudah sampai tahap mana? Apakah baru sekedar lidah, atau hati? Atu malah baru kelas syahadat. Kita renungkan kembali kualitas keimanan dalam diri masing-masing. Sebab keimanan seseorang menentukan kualitas ibadahnya.
Ikhhtitâm
Kedewasaan dalam mensikapi awal dan akhir ramadhan perlu dibudayakan. Sebab hal ini hanya ranah khilafiyah, tidak perlu diperdebatkan lagi. Semuanya sudah memiliki dasar yang jelas, tidak perlu mencari siapa yang paling benar ataupun sebaliknya. Sebetulnya yang salah adalah yang tidak menjalankan puasa.
Orang yang mengaku beriman, tetapi tidak berpuasa (tanpa sebab udzur), dipertanyakan keimanannya. Boleh jadi, keislamannya baru sampai kelas syahadat. Berarti ia belum beriman, orang islam (muslim) belum tentu beriman (mu’min), tetapi orang yang beriman (sesuai dengan arkanu al-iman) sudah pasti islam.
Ramadhan merupakan bulan yang paling ampuh dan tepat untuk menyucikan diri (tazkiyah an-nafs). Dengan berpuasa kita dituntut untuk menjaga diri dari sifat-sifat hewani dan mengumbar nafsu. Sebab dengan berpuasa semua sifat-sifat ini dapat dikendalikan dan diminimalisir. Pada bulan Ramadhan ini juga dianjurkan bagi kita untuk memperbanyak kebaikan (amal shalih). Selain pahalanya dilipatgandakan, ternyata hal tersebut merupakan sebagai alat terapi, supaya terbiasa melakukan hal-hal yang baik akhirnya akan melahirkan pribadi yang baik pula.
Oleh karenanya, maka kebaikan itu seharusnya terus dijaga supaya terus istiqamah, meskipun ramadhan sudah lewat. Salah satu tolak ukur, untuk mengukur ramadhan itu berbekas atau tidak, cukup dengan melihat before dan after-nya saja. Apakah ada perubahan sebelum dan setelah ramadhan? Disinilah akan terlihat jelas dampaknya. Allahu’alam []
Amir Hamzah
Santri PONPES UII
Alhamdulilah pada kesempatan tahun ini kita diberikan kesempatan untuk menjalani ibadah puasa ramadhan. Tak bisa kita lupakan, salah satu kenangan yang begitu besar dalam sejarah negri ini yiatu kemenangan yang dinanti oleh seluruh rakyat indonesia (merdeka) didapatkan pada saat bulan ramadhan pula. Begitu bahagia kala itu bisa lepas dari penjajah yang ratusan tahun menjajah negri tercinta ini.
Jika kita menengok ke belakang, ternyata bulan ramadhan memiliki sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari negri kita ini, bahkan bulan ramadhan telah memberikan semangat dan kekuatan yang begitu besar bagi rakyat Indonesia. Meski jumlah pahlawan yang terbatas dan bersenjatakan bambu runcing, ternyata mampu mengusir penjajah dari negri ini.
Inilah salah satu kebesaran Allah swt yang telah menunjukan kebesarannya. Sebagai generasi bangsa, inilah yang harus kita ingat dan renungkan, tanpa campurtangan Allah semua ini tak akan pernah berhasil, bahkan bisa dikatakan mustahil. Tetapi ditangan Allah tak ada yang mustahil, meski bambu melawan peluru tak sulit bagi rabbku untuk memusnahkan musuh-musuhku.
Tak hanya itu, tentu keberhasilan kemerdekaan itu juga ditopang dengan kebersatuan, kebersamaan serta kekokohan diantara pejuang negri ini. Dengan menjunjung tinggi prinsip ini, mereka mengesampingkan ras dan golongan. Tujuan mereka satu, yaitu memperjuangkan kemerdekaan negri ini dengan tumpah darah mereka, tanpa tawar-menawar lagi.
Seandainya para pejuang itu masih hidup hingga saat ini tentu akan menangis, miris dan selalu bersedih. Bhineka tunggal ika hanya tinggal nama, tetapi faktanya kini sudah tak ada. Belum lagi dalam ajaran agama islam yang dianut oleh sebagian besar rakyat indonesia seolah lupa akan ajaran tuhannya. Padahal, sudah tertulis jelas dalam al-Quran : "Dan berpegangteguhlah kalian semua kepada tali Allah dan janganlah kalian bercerai-berai." (QS. Ali Imron [03] 103.)
Saat ini kita terjebak dalam ranah perbedaan pendapat yang akhirnya tidak menemukan titik temu. Fanatisme muncul dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling baik dan paling benar. Salah satu contoh ialah terkait penentuan kapan mulai dan akhir puasa, yang sering menjadi pembicaraan hangat diawal bulan ramadhan setiap tahun.
Jika meminjam istilah yang digunakan oleh Dr. Malik Madani, M.A., dalam pola keberagamaan kita hanya difokuskan pada pembetukan dan pembinaan sholih al-ibadah (keshalilahan dalam ibadah, keshalihan ritual). Kita hanya mengukir-ukir dan membagus-baguskan sholat saja, sehingga berujung pada perdebatan yang berlarut-larut hingga sampai sesat-menyesatkan.
Inilah kesalahan yang terjadi, kebanyakan yang dituju dan yang dicari hanya shalih dalam ibadah saja (tata cara sholat). Padahal jika kita renungkan, dalam ajaran Rasulullah saw, tujuan akhirnya adalah untuk shalih al-akhlaq (keshalihan akhlaq). Agama itu datang untuk membetuk moral melalui ibadah, mislanya melalui sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Sehinga, jika sholatnya baik sudah pasti yang lainnya mengikuti.
Mensikapi Perbedaan
“Ya Allah, lunakkanlah hati kami sehingga kami bisa berlapang dada menghargai adanya perbedaan faham dan keyakinan, tanpa harus menghujat bahkan menyakiti hati orang lain yang tidak sefaham dengan kami, Aaamiiin.” Tulisan ini saya dapatkan dari jejaring sosial milik Dr. Junanah, MIS.
Kedewasaan dalam perbedaan itu sangat perlu, sikap ini telah ditunjukan oleh beliau sehingga kita harus menirunya. Semua memiliki argumentasi, dan semua memiliki pilihan untuk memilih yang sesuai dengan diri kita masing-masing. Tidak perlu saling menghujat atau malah lebih dari itu. Oleh karenanya mari kita renungkan bersama kaliamt ini, “Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai...?”
Alternatif yang kedua, ketika mensikapi perbedaan ini bisa dengan cara yang lain. Misalnya seperti Gus Nuil dalam sebuah tulisannya. “Kita ini memang bangsa bawel yang kurang proporsional, hanya gara-gara menentukan puasa ributnya setengah mati. Padahal setelah ditentukan harinya mereka juga kadang jarang berpuasa dan menggunakan alasan macam-macam untuk tidak berpuasa.
Sebenarnya puasa itu ada dalilnya; Shumu li ru'yati wa aftiru li ru'yati," berpuasalah kamu setelah melihat bulan dan ber-idul fitri-lah kamu dengan melihat bulan. Nah kalau dengan mata telajang tidak kelihatan maka genapkan sebulan penuh. Sederhana bukan? Jadi, mau berpuasa tanggal 9 sialahkan, mau puasa tanggal 10 juga silahkan. Tidak puasa pun tidak masalah, wong perintah puasa itu untuk orang yang beriman, bukan untuk yang baru berkelas Islam syahadat tho...”
Puasa dan Mu’min
Ayat tentang puasa (Al-Baqarah [02] : 183) dimulai dengan menyeru kepada orang-orang yang beriman (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû...) dan tidak untuk yang lainnya. Jelas bahwa apa yang disampaikan oleh Gus Nuril, bahwa hanya orang-orang yang berimanlah yang mendapatkan perintah puasa, bukan kepada orang islam yang berkelas syahadat. Kedua kelas ini jelas sangat jauh berbeda.
Dalam agama islam, ada dua rukun yang wajib kita jalani. Rukun islam (arkanu al-islam) dan rukun iman (arkanu al-iman). Kedua rukun ini kita laksanakan secara berbarengan, rukun islam dikerjakan dalam bentuk dzohir (tampak). Misalnya syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan rukun iman yaitu mempercai hal-hal yang gaib (tidak tampak), Allah, Malaikat, Kitab (wahyu), Rasul (utusan Allah), Hari Qiyamat dan Qada-qadar.
Jika kita urutkan tingkatannya, islam (muslim) itu yang pertama, kedua ialah iman (mu’min) dan yang terakhir ialah ihsan (muhsin). Jadi, kedudukan iman itu lebih tinggi daripada islam. Iman itu artinya percaya. Orang yang beriman percaya kepada Allah dengan sepenuhnya, dan tidak setengah-setengah.
Iman itu tidak hanya dalam ucapan belaka, atau pun hati saja, tetapi iman itu dimplementasikan dengan tiga unsur tadi. “al-qoulu bi al-lisan, wa al-tasdiqu bi al-jinan wa al-‘amalu bi al-arkan” artinya : Diucapkan dengan lisan, dibenarkan dalam hati dan dikerjakan dengan segenap anggota badan. Sehingga ucapan, hati dan tindakannya semuanya sudah didasarkan kepada Allah swt dan akhirnya melekat dalam dirinya dan menjadi sebuah sifat.
Inilah iman yang sesungguhnya. Tidak banyak orang yang mampu menggabungkan ketiganya, kadang baru sekedar tahu, tapi dalam hati belum bisa menerima. Bahkan ada juga yang sudah mantap dilidah, sudah diyakini dengan hati, tetapi belum mampu dalam tindakan. Artinya belum bisa sepenuhnya menjaga diri dari keburukan, maksiat, dan dosa-dosa kecil yang lainnya.
Jika sudah demikian, dimanakah level iman kita saat ini? Sudah sampai tahap mana? Apakah baru sekedar lidah, atau hati? Atu malah baru kelas syahadat. Kita renungkan kembali kualitas keimanan dalam diri masing-masing. Sebab keimanan seseorang menentukan kualitas ibadahnya.
Ikhhtitâm
Kedewasaan dalam mensikapi awal dan akhir ramadhan perlu dibudayakan. Sebab hal ini hanya ranah khilafiyah, tidak perlu diperdebatkan lagi. Semuanya sudah memiliki dasar yang jelas, tidak perlu mencari siapa yang paling benar ataupun sebaliknya. Sebetulnya yang salah adalah yang tidak menjalankan puasa.
Orang yang mengaku beriman, tetapi tidak berpuasa (tanpa sebab udzur), dipertanyakan keimanannya. Boleh jadi, keislamannya baru sampai kelas syahadat. Berarti ia belum beriman, orang islam (muslim) belum tentu beriman (mu’min), tetapi orang yang beriman (sesuai dengan arkanu al-iman) sudah pasti islam.
Ramadhan merupakan bulan yang paling ampuh dan tepat untuk menyucikan diri (tazkiyah an-nafs). Dengan berpuasa kita dituntut untuk menjaga diri dari sifat-sifat hewani dan mengumbar nafsu. Sebab dengan berpuasa semua sifat-sifat ini dapat dikendalikan dan diminimalisir. Pada bulan Ramadhan ini juga dianjurkan bagi kita untuk memperbanyak kebaikan (amal shalih). Selain pahalanya dilipatgandakan, ternyata hal tersebut merupakan sebagai alat terapi, supaya terbiasa melakukan hal-hal yang baik akhirnya akan melahirkan pribadi yang baik pula.
Oleh karenanya, maka kebaikan itu seharusnya terus dijaga supaya terus istiqamah, meskipun ramadhan sudah lewat. Salah satu tolak ukur, untuk mengukur ramadhan itu berbekas atau tidak, cukup dengan melihat before dan after-nya saja. Apakah ada perubahan sebelum dan setelah ramadhan? Disinilah akan terlihat jelas dampaknya. Allahu’alam []
Amir Hamzah
Santri PONPES UII
Tidak ada komentar: